Andaikata
rakyat Gorontalo kembali ‘melekatkan’ sifat-sifat ketuhanan dalam
pemerintahan daerah—seperti yang terjadi di zaman kepresidenan Sultan
Eyato semasa berdirinya PohalaA Hulondlalo (Negara Syarikat
Gorontalo)—bukan tidak mungkin pemerintahan dan kepemimpinan yang ideal
akan lahir dan memberi arah menuju kesejahteraan rakyat secara lahiriah
maupun bathiniah. Sebab kekuasaan (baca: penguasa) ‘dipaksa’ bekerja
sesuai dengan sifat tuhan yang terbagi atas sifat nafsia, sifat salbia, sifat ma’ania dan sifat ma’anawiyah.
Bila di era sekarang kita mencoba menegakkan kembali bangunan sistem moral pemerintahan yang dibentuk Eyato itu, maka sifat mukhallafatuhu lil hawaadits (sifat
tuhan yang maknanya berbeda dari makhluknya) dapat ‘dilekatkan’ kepada
para Gubernur, Walikota dan Bupati. Artinya, mereka ini mendapat
kehormatan dan diistimewakan oleh tuwango lipu (seluruh
rakyat). Tetapi bila ada seorang gubernur, walikota atau bupati
bertindak sama dengan manusia biasa (marah-marah, benci, dendam, rakus,
menipu, korupsi, berzinah dan lain-lain) maka ia harus dihukum lebih
berat daripada hukuman kepada rakyat biasa. Sedangkan dalam hal pemimpin
melakukan pelanggaran berat, ia bakal menerima sumpah dan kutukan dari Ulipu (rakyat), baik yang diungkap secara terang-terangan atau tidak.
Itulah
satu contoh penerapan sifat tuhan dalam pemerintahan yang dimungkinkan
diterapkan di Gorontalo di masa depan. Sifat-sifat tuhan yang lain dapat
‘dibajukan’ kepada institusi seperti DPRD, dinas-dinas dan lain-lain.
Dan inilah yang semestinya menjadi landasan moral pemerintahan daerah
kita. Tidak harus memformalkannya lewat undang-undang atau Perda. Yang
dibutuhkan di sini adalah semacam kesepakatan mayoritas rakyat bahwa,
sebagai misal, Mukhallafatuhu lil hawadits itu pobo’o-liyo (dibajukan/diselimutkan) kepada gubernur, bupati dan walikota. Bahwa, sebagai misal, sifat kalam/mutakallimuun
dibajukan kepada para anggota DPRD. Sedangkan lembaga dan pejabat
publik lainnya membagi habis sifat-sifat Tuhan yang masih banyak itu.
Manakala
sistem moral ini terbangun kembali di Gorontalo dan menjadi ‘diktum
utama’ dari sebuah kontrak sosial, bisa dibayangkan betapa setiap aparat
pemerintahan selalu merasa bekerja di bawah pengawasan secara langsung
oleh Tuhan karena sifat tuhan dibebankan kepada mereka. Sistem moral
seperti itu akan efektif kiranya, karena sesekuler apa pun pola pikir
mereka—para pejabat itu—tetapi selama mereka adalah orang Gorontalo
tentu mereka akan tertekan jiwanya di bawah ancaman ‘kutukan kolektif’
dari rakyat. Sebab mereka, bagaimana pun juga, masih punya rasa
malu—yang oleh orang Gorontalo dianggap sebagai suatu rasa yang teramat
disakralkan hingga hari ini. Rakyat secara moral bisa menghukum langsung
para pejabat yang terbukti korupsi, contohnya, dengan memalingkan wajah
dari mereka dan menghindari bercakap dengan mereka. Tentu saja hukum
positif tetap dijalankan sebagaimana semestinya.
Demikianlah bentuk punishment and rewards secara
moral kepada para pejabat publik kita. Ditambah lagi bila setiap jamaah
masjid mengumandangkan doa, “Yaa Allah pemilik segala nyawa. Berilah
kemuliaan di dunia dan di akhirat bagi pejabat-pejabat kami yang berbuat
baik. Berilah peringatan yang nyata kepada pejabat-pejabat kami yang
berbuat maksiat serta timpakanlah kehinaan di dunia dan di akhirat bila
mereka tidak mengindahkan peringatan-Mu.” Betapa indahnya dan betapa
uniknya. Doa yang mirip memang pernah menjadi salah satu fasal dalam naskah sumpah perjanjian persyarikatan Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA.
Kurang lebih sebait dari perjanjian dimaksud dapat diartikan sebagai
berikut, “Jikalau pembesar-pembesar Gorontalo serta pembesar-pembesar
Limboto hanya mementingkan diri mereka sendiri dan hanya mementingkan
keturunan mereka sendiri dan tidak menjunjung tinggi kepentingan
khalayak rakyat serta berbuat fitnah dan kerusakan di atas tanahnya,
maka luluh lantaklah negeri mereka seperti batu kapur dan daging kerbau
yang dipersembahkan itu. Dan Allah Ajja Wa Jalla tidak ingkar akan
janji-Nya.”
MENGAPA HARUS ISLAM?
Saya
percaya, hanya dengan nafas dan warna Islam sedemikian itu Gorontalo
mampu mencapai kejayaan di segala bidang. Butuh waktu puluhan tahun
untuk proses itu, tidak semudah mengedipkan mata. Tetapi pertanyaan
berikut adalah; Memangnya hanya aura Islam yang bisa membawa Gorontalo
kepada kemajuan peradabannya? Memangnya nilai-nilai apa yang terdapat
dalam hubungan Gorontalo-Islam sehingga diyakini bisa membawa daerah ini
beberapa derajat lebih tinggi? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah
kita menengok lagi ke belakang, kepada rentang panjang sejarah
Gorontalo.
Nenek
moyang kita orang Gorontalo sebelum masuknya Islam di abad ke-XV
mengharuskan atas dirinya untuk menjunjung tinggi nilai harmoni, yakni
harmoni dengan lingkungan hidup maupun dengan lingkungan abiotik pada
semesta alam. Kemujuran dan kemalangan ditentukan oleh daya akomodasinya
terhadap unsur harmoni. Maka segala apa yang dilahirkan oleh akal, di
zaman itu, mestilah selaras dengan ketentuan hukum semesta. Identifikasi
atas benda dan peristiwa dapat dibenarkan hanya jika tidak mengganggu
harmoni. Dengan kata lain, pengetahuan tertinggi dan terbenar yang harus
dicapai ialah yang menjamin keberlangsungan harmoni kehidupan.
Pandangan atas harmoni itu yang, kemudian, merangsang sikap ingin tahu
di tengah lingkungan alam perbukitan dan hutan belantara yang diapit
samudera luas.
Ketika
itu tidak ada guru, apalagi sekolah dan perpustakaan. Alamlah yang
menjadi mahaguru tunggal, sumber inspirasi, sumber logika satu-satunya.
Otodidaktik dan kemandirian pada gilirannya mengguncang kesadaran
berfilsafat. Itulah sebabnya ilmu dan teori dalam periode ini lebih
bernuansa filsafat. Air, misalnya, menjadi salah satu sumber
terbentuknya kebudayaan dan adat-istiadat. Ungkapan taluhu sifati moopa (sifat air selalu mencari tempat yang rendah) dimaksudkan agar manusia bersifat rendah hati. Sifati taluhu mololohe deheto (sifat
air bergerak mengalir menuju samudra) dimaksudkan agar setiap insan
terus berusaha dengan tekun sampai tujuannya tercapai. Wonu moda’a taluhu, pombango moheyipo (Jikalau
banjir, pinggiran sungai pun pindahlah) bermaksud; jikalau ada yang
lebih tinggi ilmu pengetahuannya, maka seorang pemimpin hendaklah
menyerahkan kepemimpinannya kepada orang itu.
Filsafat
air berkembang di Gorontalo karena lingkungan hidup mereka adalah
lingkungan air. Maklum, danau, telaga dan sungai begitu banyak di
daratan ini. Belum lagi hamparan samudra Teluk Tomini dan Laut Sulawesi.
Selanjutnya, filsafat Gorontalo dihiasi pula dengan pemikiran tentang
api, udara dan tanah. Manusia dianggap sempurna ketika ia mampu
mendarahdagingkan sifat-sifat keempat anasir itu ke dalam dirinya.
Itulah yang dianggap sebagai “kebenaran obyektif” di masa itu.
Kebenaran obyektif itu kemudian menjadi dasar pertaruhan dalam sumpah pembentukan serikat (Pohalaa)
Gorontalo oleh 17 Linula pada tahun 1385 dan oleh Pohalaa Limboto 30
tahun sebelumnya. Maknanya, nilai-nilai harmoni tidak hanya menimbulkan
kebenaran obyektif dalam filsafat tentang benda, tetapi juga telah
merembet luas hingga memasuki wilayah filsafat persatuan, pemerintahan
dalam hubungan antar manusia. MatoloduladaA terpilih sebagai Olongiya
(maharaja, ketua presidium, presiden) yang pertama bukan lantaran lebih
berkuasa dan berpengaruh daripada calon presiden lain Dia terpilih
terutama karena pengetahuannya relatif melebihi yang lain. Di samping
itu, otodidaktis yang cemerlang ini mengkomunikasikan pengetahuannya
kepada raja-raja lain dengan tatacara yang dapat diterima oleh lawan
bicaranya. Pembentukan perserikatan pun didasarkan atas pemikiran
MatoloduladaA. Dia benar-benar menempatkan diri sebagai sumber rujukan
utama tentang kebenaran dan pengetahuan. Maka tak heran dalam penobatan
kemaharajaan MatoloduladaA, sidang raja-raja bersumpah dengan “kebenaran
obyektif” untuk melegitimasi “kenyataan obyektif”—kepemimpinan
MatoloduladaA—dengan melafalkan tuja’I (pantun): “Huta, huta lo ito eeya. Dupoto, dupoto lo ito eeya. Taluhu, taluhu lo ito eeya. Tulu, tulu lo ito eeya.” (Tanah, tanah milik tuanku. Angin, angin milik tuanku. Air, air milik tuanku. Api, api milik tuanku).
Legitimasi yang kuat itu pun dilandaskan pada filosofi alam: hu’idu lo hundlu datahu
(gunung menjunjung lembah). Maksudnya, raja-raja lain yang memiliki
basis kekuasaan lebih besar rela menyerahkan tampuk kekuasaan kepada
MatoloduladaA yang berasal dari Linula kecil tetapi memiliki
ilmu pengetahuan yang relatif lebih tinggi, budi pekerti terpuji, suka
merendah, terbuka dan komunikatif. Jelas, di masa inipraktek demokrasi
dibungkus oleh “supremasi ilmu”.
Aura
perkembangan ilmu pada lingkup politik beriring sejalan dengan tuntutan
ekonomi. Kehidupan di lereng-lereng gunung dan perbukitan yang
dikelilingi laut bukanlah tantangan yang hanya dapat disiasati secara
perorangan atau kelompok-kelompok kecil untuk peningkatan kesejahteraan
rakyat. Harus ada kekuatan organisasional yang besar yang memiliki
ikatan kuat. Dan jawaban untuk menjinakkan tantangan itu; pembentukan
kerajaan. Inilah yang menjadi salah satu dasar bagi MatoloduladaA
mengkampanyekan betapa pentingnya sebuah PohalaA, sebuah negara
syarikat.
Ia lalu mengarahkan sumberdaya ekonomi negaranya dari ladang berpindah (butu) menjadi ladang tetap (butu-payango). Peraturan sistem ekonomi ditegakkan oleh badan pelaksana undang-undang bidang ekonomi yang disebut golongan Tiyombu.
Nilai-nilai ekonomi tersebut antara lain dilembagakan dalam sistem
sosial ekonomi kekeluargaan yang mengedepankan kepentingan bersama di
atas kepentingan individu.
42
tahun MatoloduladaA memerintah. Kecerdasan, insting politik dan bakat
diplomasi yang dimiliki menjadi modal utama bagi sang presiden untuk
memapankan kekuasaan. Tetapi selama puluhan tahun itu seluruh rakyat
mencintainya. Berbagai terobosan besar dilakukan MatoloduladaA untuk
kepentingan negara, baik dalam bidang keilmuan, politik-pemerintahan,
ekonomi. Tak mencengangkan bila tiada satu pun bangsawan maupun rakyat
yang menyatakan komplain ketika setelah mangkatnya MatoloduladaA diberi
predikat Ilomata, predikat bagi seorang pemimpin besar pilihan yang
menciptakan karya-karya agung.
Pasca
MatoloduladaA, hampir tidak ada pembaharuan berarti yang mendapat
pengakuan sebesar itu. Raja Amai membawa Islam masuk ke Gorontalo. Dia
memiliki keberanian yang luar biasa. Perubahan yang dibawa Amai tidaklah
kecil karena berkaitan dengan revolusi akidah. Bahkan ia berhasil
menelisipkan agama ke dalam hukum adat dengan prinsip “Syara’a hulo-huloA to Aadati.” Tetapi, faktanya, Amai tidak diberi predikat Ilomata.
Pasca
Amai, Matolodulakiki sebagai presiden membangkitkan kembali “supremasi
ilmu” dalam bingkai akhlakul karimah. Raja ini mampu mengislamkan rakyat
seantero negeri tanpa kecuali, namun syahadat diucapkan rakyat tanpa
ada pemaksaan sama sekali. Kedudukan hukum Islam berhasil disetarakan
dengan hukum adat dalam prinsip “Aadati hulo-huloA to syara’a, syara’a hulo-huloA to Aadati.”
Di zaman ini, resmilah Islam menjadi agama kerajaan. Matolodulakiki
juga mengkampanyekan kesetaraan hak dan kewajiban setiap manusia.
Perbedaan status seseorang terutama diukur dari ilmu yang dimiliki dan
akhlak yang mulia. Faktor keturunan dan jumlah harta yang dimiliki
menjadi pertimbangan terakhir untuk menentukan status sosial tersebut.
Prestasi dan ajarannya itulah yang menjadikan Matolodulakiki mendapat
tempat terhormat di setiap hati rakyatnya. Maka dia, setelah melakukan
perubahan besar itu, berhasil mendapatkan predikat Ilomata Kedua dengan
legitimasi bulat-utuh seluruh rakyat.
Setelah
era Matolodulakiki, perubahan progresif sebesar itu baru terjadi lagi
di zaman Eyato. Sebelum terpilih menjadi presiden, Eyato memprakarsai
sebuah ikrar yang berlaku untuk sepanjang masa yang dikenal dengan
sumpah “Uduluwo Lo Ulimo Lo PohalaA” (Salah satu fasal
perjanjian ini sudah dituliskan di atas). Sumpah ini menghentikan perang
saudara yang telah berlangsung lebih dari 200 tahun dan ‘mempersatukan
darah’ antara Gorontalo dan Limboto. Karenanya kemudian dia terpilih
lalu didaulat menjadi Sultan. Eyato pula yang menjadikan Islam sebagai
hukum tertinggi kerajaan dengan prinsip “Aadati hulo-huloA to Syara’a, Syara’a hulo-huloA to Kuru’ani.” Hukum adat tetap diakui selama tidak bertentangan dengan agama.
Sang
Sultan melakukan perlawanan sengit terhadap kedatangan kaum kapitalis
Eropa berbendera V.O.C. Perlawanan ini lebih utama termotifasi oleh
pengawalan akidah, bela negara dan mengusir gangguan terhadap
perekonomian rakyat yang sudah demikian baik keadaannya. Kekuatan
pertahanan pasukan Eyato tak mampu dipatahkan Belanda. Tokoh besar itu
tertangkap dengan tipu muslihat yang licik dan dibuang ke Srilangka.
Tetapi perubahan besar yang telah dilakukan Eyato terhadap nilai-nilai
keislaman Gorontalo serta kemajuan ekonomi negeri mendapat legitimasi
yang bulat-utuh dari segenap masyarakat untuk beroleh predikat Ilomata.
Setelah
beberapa kali negara syarikat Gorontalo berganti presiden, Ilomata
keempat akhirnya lahir juga di bawah kepemimpinan Sultan Botutihe.
Mantan Hatibie DaA (Khatib Agung) yang kemudian terpilih
menjadi presiden itu menjalankan langkah-langkah yang amat fenomenal dan
berpengaruh luas dalam segala bidang; ilmu pengetahuan, politik,
pemerintahan, ekonomi dan sebagainya. Nilai-nilai moral dan hukum yang
telah ditanamkan oleh Eyato disemarakkan lagi dalam kehidupan bernegara.
Botutihe lalu memindahkan ibukota kerajaan dari Dungingi ke Limbato
Botudulanga (Limba B) yang lebih dekat ke bandar laut. Ibukota yang baru
ini ditata sedemikian apik dengan masjid sebagai pusat kerajaan. Di
ring pertama kitaran masjid diperuntukkan para petinggi pemerintahan. Di
ring kedua adalah wilayah bagi pemukiman rakyat. Di garis terluar
adalah perumahan untuk para tentara. Pertanian didukung dengan pembuatan
saluran-saluran pengairan yang diatur rapi. Tata ruang yang modern
hasil kreatifitas Sultan Botutihe itu berakibat sangat positif.
Pertahanan kerajaan menjadi semakin kuat untuk menghadapi rongrongan
pasukan Belanda yang datang dari wilayah pantai. Dan ekonomi rakyat kian
surplus karena terbukanya lahan-lahan baru untuk bercocok-tanam.
Pantaslah Botutihe beroleh dukungan mutlak dari seluruh rakyatnya, sebab
kebijakan-kebijakan yang diambilnya memberi keuntungan bagi masyarakat.
Karya besar Botutihe ini membuatnya diberi gelar Ilomata.
Para
presiden PohalaA Gorontalo setelah Botutihe disibukkan dengan penetrasi
Belanda yang kian menjadi-jadi. Segala energi dicurahkan untuk melawan.
Tetapi Belanda teramat kuat. Strategi devide et impera akhirnya
berhasil memecah kekuatan Gorontalo. Maka takluklah seluruh tanah ini
ke dalam penguasaan Belanda. Oleh S.R. Nur, perkembangan kebudayaan
Gorontalo di masa ini diibaratkan sebagai “perahu patah kemudi”.
Nilai-nilai yang telah terbangun sebelumnya mengalami degradasi.
Nilai-nilai baru yang dibawa oleh Belanda justru membuat kehidupan
rakyat menjadi serba susah. Pembangunan peradaban Gorontalo—berdasarkan
nilai-nilai yang telah ada sebelumnya—terpasung oleh pemerintahan
militer-otoriter ciptaan penjajah. Nilai-nilai yang terdegradasi
itu—terutama nilai budaya progresif—yang kemudian hanya sekadar
bersemayam di hati sanubari orang Gorontalo, tak lagi ditonjolkan dalam
kehidupan keseharian. Sistem yang lama, kemudian, mengalami pembatinan
sejarah, menjadi sekadar social stock of knowledge. Maka pasca
Sultan Botutihe hingga hari ini, Ilomata Wopato atau Empat Karya Agung
tetap saja Ilomata Wopato, tak bertambah menjadi lima.
Ketika
babakan sejarah Indonesia memasuki era pergerakan nasional, pencerahan
pola pikir mulai dilakukan. Sejak itu bermunculan orang-orang muda
terdidik seperti Nani Wartabone, RM Koesno Danupojo dan lain-lain yang
menjadi tokoh-tokoh sentral peristiwa 23 Januari 1942—hari
penjungkirbalikan kekuasaan Belanda di Gorontalo. Perubahan cukup besar
terjadi. Nani Wartabone yang dilegitimasi sebagai pemimpin tertinggi
kembali membangun pemerintahan yang mandiri-merdeka. Rakyat yang sejak
lahirnya hidup dalam keterjajahan kini seperti terlahir kembali, mencoba
lagi membangun jati dirinya yang hilang ratusan tahun sebelumnya.
Sayang, dominasi militer Jepang yang tiba dengan slogan “saudara
tua-saudara muda”-nya kembali merampas kemerdekaan itu. Jepang
membungkam progresifitas yang baru saja mulai direkonstruksi itu.
Sampai
hari ini lebih dari enam abad Gorontalo menata kehidupannya. Empat
Ilomata tercipta sudah. Yang mesti menjadi catatan khusus kita adalah,
tiga dari keempat Ilomata itu lahir ketika para pemimpin memegang teguh
ajaran Islam sebagai panduannya mengatur tata-negara. Sekali lagi, dari
sekian banyak orang yang pernah terpilih secara demokratis sebagai raja
di Gorontalo, hanya ada empat yang bergelar Ilomata dan tiga diantaranya
adalah para pemimpin yang sangat Islami. Patut pula menjadi catatan
bahwa ketika Ilomata Wopato (Empat Pemimpin dengan Karya Agung)
memerintah pada zamannya masing-masing, kehidupan rakyat relatif lebih
tentram, lebih nyaman dan berkecukupan.
Apa
artinya semua ini? Peluang untuk menciptakan Ilomata (karya agung) yang
baru akan sangat besar bila dilakukan dalam nuansa Islam seideal
mungkin. Dan itu bisa dilakukan mulai sekarang, setelah perjuangan
pembentukan provinsi Gorontalo dinyatakan selesai, setelah provinsi ini
benar-benar terwujud dan memulai pembangunan pondasi peradaban.
Undang-undang
otonomi daerah kini telah memberikan ruang yang cukup luas bagi kita
untuk mengembangkan daerah dengan kreatifitas dan inovasi lokal. Peluang
tersebut dapat dimanfaatkan untuk membangun kembali nilai-nilai lokal
yang telah dijabarkan di atas; nuansa ketuhanan (keislaman) yang secara
menyeluruh dipraktekkan dalam kehidupan keseharian orang Gorontalo. Itu
tidak berarti harus memformalkannya lewat Perda Syariat Islam dan
sebagainya. (Perda Pencegahan Maksiat saja sulit betul untuk diterapkan
secara maksimal). Tetapi yang mesti dilakukan adalah membangun peradaban
kita—pola pikir kita, seluruh orang Gorontalo—dengan menggali
nilai-nilai positif yang ada di daerah sendiri; yaitu nilai dan kultur
Islami.
Bukan
pula berarti Gorontalo mesti kembali ke peradaban masa lalunya, atau
tenggelam dalam nostalgia kejayaannya. Tidak begitu. Tetapi nilai-nilai
yang ada di masa itu disuburkan kembali untuk membangun karya agung
baru, yaitu nilai progresif, ekspresif dan demokratis yang berpokok pada
supremasi intelektual. Konfigurasi nilai semacam itulah yang membentuk
jatidiri orang Gorontalo sehingga mampu menciptakan Ilomata yang kelima,
keenam dan seterusnya.
Demikianlah,
upaya untuk menciptakan rakyat Gorontalo yang adil dan makmur di masa
mendatang amat tergantung kepada seberapa besar niatan seluruh elemen
masyarakat dalam membangun daerah dengan berpijak pada nilai-nilai lokal
yang ada. Belajarlah kita pada kasus bangkrutnya Indonesia di masa lalu
dimana pembangunan ekonomi diselenggarakan secara seksama berdasarkan
teori dari para “mafia Barkeley”. Titik persoalannya adalah, teori-teori
yang telah terbukti ampuh dalam membangun negara lain dipaksakan
diterapkan di Indonesia. Jadilah negara ini di kemudian hari
luluh-lantak perekonomiannya, kacau-balau politiknya, carut-marut
budayanya, kabur-muram idiologinya. Demikian pula dengan Gorontalo dan
daerah-daerah lain di nusantara. Sistem pembangunan yang sentralistik
telah mengenyampingkan potensi-potensi lokal. Ada usaha penyeragaman di
seluruh Indonesia. Akibatnya adalah kegagalan pembangunan peradaban di
seluruh Indonesia.
Kepemimpinan
Gubernur Tursandi Alwi yang dilanjutkan oleh duet Fadel Muhammad-Gusnar
Ismail sedikitnya telah membuka celah-celah ke arah pembangunan
peradaban itu. Tinggal bagaimana komitmen rakyat kita—terutama
pemerintahan daerah, tentu saja—dalam mencerdaskan putra-putri Gorontalo
serta memberikan mereka muatan akhlak dan etika Islami kepada generasi
penerus daerah ini. Ketika kita bersungguh-sungguh melakukan kedua
‘tugas’ tersebut, maka satu generasi lagi Gorontalo tak akan ketinggalan
dari daerah-daerah lain, bahkan dari negara-negara lain. Dan andaikata
pembangunan semacam ini juga dilakukan oleh daerah-daerah lain
berdasarkan nilai-nilai lokal yang di tempat masing-masing, maka tentu
semua daerah akan semakin maju dan secara otomatis pula negara ini akan
mencapai cita-cita Republik Indonesia yang tentram, adil dan makmur.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar